Kumpulan Cerpen

MIMPI (Sederhana yang Indah)

Hasil gambar untuk cahaya
muslimah.or.id

Mimpi? Tentu saja aku punya. Makan ikan bakar dengan nasi panas misalnya. Kata orang, mimpiku itu terlalu sederhana. 

Ayolah ... kita berbeda, Kawan. Sepiring nasi setiap hari sangat jarang kutemui. Biasanya hanya segelas teh manis yang kucampur parutan kelapa untuk mengganjal perut mungilku. 

"Hei Jupri, dari mana kau pagi-pagi buta begini?" tanya Bu Teti dengan intonasi khas seperti biasanya. 

"Biasalah Bu Tet. Tengok saja sekolah itu. Kugosok dia punya lantai," jawabku meniru gaya bicara Bu Tet. 

"Rajin kali kau, Jupri. Sudah makan Kau?" tanya Bu Tet lagi saat aku hendak pergi. 

"Haha ... macam mana mau makan Bu Tet, sambal belacan tak habis-habis. Bosan aku, hilang pula selera makan," gurauku santai. Walau sebenarnya, perutku sudah sangat lapar dari kemarin sore. 

Tiba-tiba Bu Teti mengeluarkan plastik hitam, kemudian menyodorkan ke arahku. "Kau campur sambal belacan kau itu dengan ikan bakar ini, Jupri."

Mendengar ikan bakar, cacing di perutku semakin memberontak. Aku tersenyum sekilas. Inilah Bu Teti. Walau suaranya keras dan cara berbicaranya tak bisa santai, namun ia akan selalu berbagi jika mendapat rezeki. 

"Alangkah murahnya hatimu, Bu Tet. Kenyanglah aku sampai minggu depan. Terima kasih banyaklah Bu Tet," kuambil bungkusan itu, kemudian berlari pulang. 

Bu Teti terkekeh melihat tingkahku. Seakan tahu bagaimana ekspresiku ketika melahap ikan bakarnya. 

***

Rahmat Jupri. Itulah aku. Seorang anak desa yang bahkan tak pernah berani untuk bermimpi.
Diusia yang sekarang, harusnya aku sudah masuk sekolah dasar. Bermain dengan angka dan belajar menulis nama. 

Namun, Bapak tak akan mau menyekolahkanku. Bebannya sudah terlalu banyak. Maklum, bapak harus bertanggung jawab untuk keluarga barunya. 

Kata orang, sayang sekali jika aku tidak sekolah. Selain karena sangat pandai bicara, aku juga tahu bagaimana harus bersikap. Nasib siapa yang tahu, entah 15 tahun lagi menjadi kepala desa. Begitu kata mereka.

"Cubolah kau rayu lagi Bapak kau tu, Jupri," kata Pak Uncu suatu sore. 

"Idak tega aku, Pak. Nyo lah banyak beban," tolakku sambil mencomot pisang goreng. 

"Kau ni, kecik-kecik lah pacak nian ngomong. Rugi idak sekolah, kau tengok anaknyo Bu Teti. Sekolah di Jakarta nyo kini," tukas Pak Uncu menepuk pundakku. 

Aku terdiam sambil meremas ujung jari. Benar juga ucapan Pak Uncu. 

"Hari minggu sayo ndak ke kota. Ikut dak Kau?" tawarnya. 

Aku mengangguk semangat. Sudah lama sekali aku ingin ke kota. Tak mungkin kutolak kesempatan emas ini. Dan bermula dari sini pula aku berani bermimpi. Mimpi yang sangat besar. 

***

Mimpiku hari ini tak lagi sama. Bukan hanya tentang ikan bakar dan nasi panas. Tapi lebih dari itu.
Pagi-pagi sekali, aku dan Pak Uncu sudah berangkat menuju kota. Karena sangat antusias, aku hampir tidak tidur tadi malam. Pagi terasa sangat lama. 

Tengah hari, kami sudah sampai di kota. Pak Uncu mengajakku berhenti di masjid An-Nur. Salah satu masjid besar di kota ini. 

"Ayo ambil wudhu dulu, Jupri," Pak Uncu menarikku ke tempat wudhu. 

"Tapi aku dak bisa, Pak."

Pak Uncu tersenyum, "kau tengok ajo orang banyak ni. Shalat nanti ikut ajo imam," bisik Pak Uncu.
Seusai shalat, aku keluar terlebih dahulu dari masjid. Aku melihat sekilas ke arah Pak Uncu, beliau masih khusuk berdoa. 

Aku duduk di emperan masjid. Ternyata banyak anak-anak seumuranku di sana. Tapi mereka sudah fasih bacaan shalat. Karena sempat kulirik tadi. Mereka sibuk komat-kamit mengikuti bacaan Pak Imam. 

"Jupri, ado kabar elok," sahut Pak Uncu tiba-tiba. 

"Apo, Pak?" tanyaku penasaran. 

"Kau tengok orang baju putih tu? Bapak tu ngajar di pesantren Al-Hasanah," jelas Pak Uncu. 

Aku mengerutkan kening, "kenapo, Pak"

"Kau ndak masuk pesantren?" Pak Uncu semangat sekali bertanya padaku. "Kalau kau ndak, biar bapak yang ngomong,"sambung Pak Uncu. 

Entah bagaimana ceritanya. Aku dengan santainya mengangguk. Kulihat wajah antusias Pak Uncu.

***

"Siapa namamu, Nak?" tanya laki-laki berjenggot itu. 

"Rahmat Jupri, Buya,"jawabku singkat.

Awalnya aku memanggilnya bapak, tapi katanya panggil Buya saja.

"Rahmat mau tinggal di pesantren?" 

Sekali lagi, aku mengangguk tanpa ragu. 

"Kenapa Rahmat mau tinggal di sini?" Buya memegang tanganku lembut. 

"M ... Mau menghafal bacaan shalat, Buya," laki-laki itu tersenyum pelan sambil mengangguk. 

"Ibunya sudah meninggal, Buya. Bapaknya menikah lagi. Dia dititipkan dengan neneknya," bisik Pak Uncu pada Buya. Aku tak peduli apa yang mereka katakan. Aku hanya sibuk memutar mata ke seluruh ruangan. 

"Rahmat, Buya akan beri kesempatan untuk tinggal di sini seminggu. Kalau tidak betah, Rahmat boleh pulang," kata Buya menatapku lekat. 

"Tapi Buya ...." sahut Pak Uncu. 

Laki-laki berjenggot itu mengangkat tangannya. Seakan mengatakan 'tidak apa-apa' pada Pak Uncu.
Selepas matahari terbenam, Pak Uncu pamit pulang. Sedangkan aku tetap tinggal di sana. Nenek dan ayah sudah kami kabari lewat telepon, berkat pertolongan Bu Teti. Buya sendiri yang berbicara dan menjelaskan dengan mereka. 

Keesokkan harinya, aku mulai diajar sendiri oleh Buya. Baju yang biasanya kumal, sekarang berganti dengan baju koko putih dan peci berwarna senada. 

Ah ... seminggu ke depan, aku akan mengejar mimpi untuk menghafal bacaan shalat. 

Kebetulan sekali, aku sekamar dengan seorang anak laki-laki yang seumuran denganku. Atau lebih tua sedikit. 

"Kamu sedang apa?" kuberanikan diri untuk buka suara. 

"Menghafal Al-Qur'an. Subuh nanti harus setor sama Buya," jawabnya sambil mendekap Al-Qur'an kecil. 

"Wah ... Itu akan sulit sekali. Aku Rahmat Jupri," aku mengulurkan tangan ke arahnya. 

Dia balas menjabat tanganku, "Muhammad Hafiz. Tidak susah kok, menyenangkan. Aku menghafalnya karena aku punya mimpi."

"Apa itu?" 

"Kamu tahu, orang yang menghafal Al-Qur'an akan dipertemukan dengan orang tuanya di Surga nanti. Dan bisa memberi mahkota dari cahaya untuk mereka."

"Surga itu apa," tanyaku polos. 

"Surga itu tempat yang paling indah. Banyak makanan, sungai juga ada. Kita bisa berenang nanti di sana," jelas Hafiz bangga. 

"Aku juga mau ke Surga. Kalau kita hafal Al-Qur'an kita bisa bertemu ibu ya, Fiz?"

"Iya, Mat. Ketemunya di Surga."

Senyumku mengembang. Sepertinya aku akan punya mimpi yang baru.
Aku melihat Hafiz sekilas, dia kembali sibuk dengan Al-Qur'annya. Perlahan kurebahkan diri di atas ranjang kecil itu dan menatap langit-langit. Aku rindu ibu. Aku rindu wajah yang bahkan tak kuingat. 

*** 

Seminggu berlalu dengan cepat. Begitupun mimpiku untuk menghapal bacaan shalat. Hanya butuh dua hari, aku sudah selesai dengan mimpi pertamaku setibanya di kota. Selebihnya aku habiskan belajar membaca Al-Qur'an dengan Buya. 

Saat makan siang dihari ketujuh, kulihat mobil tua Pak Uncu terparkir di halaman pesantren. Aku bergegas mencarinya, dan ternyata beliau sedang berbincang dengan Buya. 

Pak Uncu melihatku mengintip di balik jendela. Ia melambaikan tangan dan menyuruhku duduk di sampingnya. 

"Apo kabar, Jupri? Sehat kau, Nak? tanya Pak Uncu saat aku mencium tangannya. 

"Sehat, Pak. Senang nian Jupri di siko. Nenek samo bapak sehat?" aku balik bertanya pada beliau. 

"Sehat. Bisa bapak tengok dari wajah kau. Cak mano kau, ndak balik idak? Apo tetap di siko," Pak Uncu mengelus kepalaku singkat.

"Bagaimana Rahmat? Mau pulang atau tetap di sini. Buya tidak mau Rahmat merasa terbebani di sini," Buya buka suara setelah diam beberapa saat. 

"Pak, Buya ... Jupri akan tetap tinggal di sini," aku menunduk menatap lantai. 

"Nian Jupri?" Pak Uncu kaget mendengar jawabanku. 

"Iyo, Pak. Jupri ndak ngapal Al-Quran," jawabku setengah berbisik. 

Kulihat Buya menyunggingkan seulas senyum. "Rahmat kenapa ingin menghapal Al-Qur'an?"
Aku terdiam cukup lama. Pak Uncu sepertinya tak sabar mendengar jawabanku. 

"A ... aku mau bertemu ibu dan bapak di Surga nanti. Juga memasangkan mahkota untuk mereka."
Pak Uncu langsung menangis sesenggukkan. Kemudian memelukku erat. Begitupun Buya, air mata menetes mengenai baju putihnya. 

Aku tak mengerti kenapa mereka begitu emosional. Aku hanya menemukan mimpiku yang baru. Karena, aku tak pernah merasakan kehadiran ibu. Sedangkan ayah punya tanggung jawab baru. Tak mungkin aku menuntut banyak untuk menambah bebannya. Di Surga. Itulah satu-satunya harapan untukku bertemu dengan mereka. 

"Kau belajar dengan baik, Jupri. Seminggu yang lalu masih kulihat kau menggosok lantai sekolah. Menjemur daun pisang dan berlari tanpa alas kaki saat matahari terik. Bahkan masih kuingat saat kau memijat kaki hina ini dengan tangan muliamu ini, Nak," Pak Uncu mengelus tanganku. Air matanya terus saja menetes. 

"Buya akan membantumu, Rahmat. Surga pasti sedang merindukanmu, Nak," aku menatap Buya dengan polos. Matanya juga terlihat berkaca-kaca. 

"Pak, Bapak tahu apo itu Surga?" Ku lontarkan tanya pada Pak Uncu. 

"Tahu, Jupri. Surga adalah tempat yang merindukan orang sepertimu."

"Jupri jugo rindu ndak ke situ, Pak. Apolagi kato Hafiz ado sungai. Jupri ndak berenang."

Buya dan Pak Uncu tertawa mendengar jawabanku. Namun bukan tawa mengejek.

Sungguh. Ini adalah mimpi terbaik. Bukan hanya soal perut, tapi soal berenang di Surga dan bertemu ayah ibu yang akan kupasangkan mahkota di kepala mereka. 

"Ibu tunggu aku. Aku sedang merancang mahkota paling indah untukmu di sini. Tersenyumlah di atas sana."

***

Bengkulu,    Agustus 2018

đź’•Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utamađź’•

-Rarain- 

Komentar

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Workshop Kece Ala Blogger Bengkulu

Kesedihan di Balik Bukit Barisan

November, Hujan, dan Rebahan